Nampaknya seperti pepatah,
itu berarti, setiap orang akan menerima pahala yang sesuai dengan perbuatannya.
Jika dirinya adalah seorang yang baik, ia akan senang karena menerima
pembalasan yang baik juga, sementara jika seorang berbuat jahat, dia akan
menjadi sengsara karena kejahatan yang diperbuatnya. Seseorang yang baik akan
memiliki sumber kebahagiaan yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, demikian
pula jika orang berdosa, ia harus menanggung hukuman yang sesuai dengan
dosanya. Karena pada hari penghakiman setiap orang akan “dihargai”. Menyadari
hal ini, maka kita seharusnya sedikit cemas tentang sentimen orang lain,
sehingga kita harus berusaha untuk menjaga hati nurani yang baik kepada Allah
dan manusia (Matius 5:23-24; 1 Korintus 10:29; Galatia 6:1-10).
Untuk menjadi murid
Kristus dan layak disebut sebagai orang Kristen, seseorang harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya tiap-tiap hari dan mengikut Kristus (Matius 10:38,
16:24; Markus 8:34; Lukas 9:23, 14:27). Gaya bahasa yang dipergunakan dalam
penulisan ayat-ayat tersebut adalah Metonymy,
perubahan kalimat/kata (kerja, benda atau nama) yang dipakai untuk
menggantikan yang lain dimana didalamnya memiliki keterkaitan tertentu.
Dalam gaya bahasa Metonymy terdapat beberapa keterkaitan:
1. Sebab, ketika penyebab ditampilkan terkait
dengan akibatnya (Kejadian 23:8; Lukas 16:20).
2. Akibat, ketika akibat ditampilkan
terkait dengan penyebabnya (Kejadian 25:23; KPR 1:18).
3. Subyek, ketika subyek ditampilkan
terkait dengan sesuatu yang menjelaskannya (Kejadian 41:13; Ulangan 28:5).
4. Keterangan, ketika penjelasan subyek
ditampilkan bagi subyek itu sendiri (Kejadian 28:22; Ayub 32:7).
Lalu Yesus berkata
kepada murid-murid-Nya, "Jika seseorang mau mengikut Aku" – "Jika",
"Sekiranya", "Kalau saja", tidak ada yang dipaksakan disini,
tetapi jika ada yang mau atau bersedia menjadi seorang Kristen, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya – merupakan aturan yang tidak pernah bisa banyak
diamati, tetapi biarlah dalam segala hal mengingkari kehendak keinginan diri sendiri,
dengan senang hati, lalu melakukan kehendak Allah, sekalipun menyakitkan. Lalu
haruskah kita menganggap semua salib, merupakan segala hal yang menyedihkan
bagi darah dan daging, karena peluang untuk merangkul kehendak Tuhan hanya melalui
cara pengorbanan kita sendiri?
Cara berpikir manusiawi
Petrus yang tidak berpikiran Allah, itulah iblis (Matius 16:23), seharusnya sebagai
murid Kristus maka pikiran dan perasaan Kristuslah yang harus diketahui,
dipelajari, dilakukan dan berada menguasai seluruh aspek kehidupan ini. Itulah
sebabnya rasul Paulus menasehatkan agar kita mengalami perubahan pikiran, lalu melatih
diri untuk mengerjakan kehendak Allah (1 Timotius 4:7-8; Roma 12:1-2; 1 Korintus
9:27; Efesus 4:23). Latihan sangatlah berguna, karena melaluinya kita mengalami
kegenapan Firman Tuhan, dimana jika kita melakukan firman-Nya, akibat dari
tindakan ketaatan kita tersebut akan menghasilkan penggenapan janji Tuhan.
Prinsip tabur-tuai terjadi, dengan demikian iman kepercayaan kita kepada-Nya
dikuatkan (Galatia 6:7).
Sebagaimana Kristus
memikul salib yang seharusnya kita pikul (Yesaya 53:4-12), demikianlah
hendaknya kita memikul beban (salib) orang lain (1 Korintus 9:19-23, 10:24;
Filipi 2:3-4; Yakobus 5:19-20), dengan tekun dan bersukacita (Ibrani 12:2),
sebab apa yang sekarang kita tanggung tidak sebanding dengan kemuliaan kekal
yang akan diberikan bagi kita (2 Korintus 4:17). Itulah sebabnya rasul Paulus
sebagai pelayan Allah, ia berusaha untuk menangkap seluruh kehendak Allah itu
(Filipi 3:10-12), meneladani para nabi pendahulunya (Yakobus 5:10), itupun
anugerah Allah bagi hamba-hamba-Nya (1 Petrus 2:19-21).
Sudahkah kita juga bertekun untuk memikul salib sebagai ganti sukacita yang telah disediakanNYA ?