Antropomorfosis,
sebuah pendekatan
Dalam tulisan sebelumnya kita mendapatkan keberadaan Tuhan
itu barulah terjadi ketika ada hubungan antara kita sebagai “hamba” dan Ia
sebagai “tuan di atas segala tuan”. Keberadaan yang tak terlihat namun ada itu
membuat-Nya sulit dipahami, dan terkadang menimbulkan pengertian berbeda satu
sama lain Iantara orang-orang yang menjalin hubungan dengan-Nya. Secara
manusiawi, hubungan yang terjalin antar sesama lebih dipahami dengan mudah oleh
keterbatasan pemikiran manusia. Alkitab memberi sebuah kejelasan hubungan Allah
terhadap manusia yang dapat diterima melalui kenyataan kasih – hubungan cinta
yang diberikan-Nya lewat inkarnasi Firman yang mewujud. Kasih yang nyata antara
sang Pencipta terhadap manusia ciptaan-Nya telah dinyatakan melalui pribadi
Yesus Kristus, anak-Nya yang tunggal, yang taat dalam segala hal seperti
selayaknya seorang anak terhadap bapanya. Itulah sebabnya tercatat dalam kitab
Ibrani bahwa Yesus sebagai anak telah memberikan sebuah contoh ketaatan
terhadap (hukum Taurat) Bapa-Nya. Inilah gambar sempurna yang mudah dimengerti
pemikiran manusiawi kita sehubungan dengan keberadaan-Nya. Allah yang Roh, kini
menjadi “seseorang” yang dapat dipahami secara manusia. Sungguh sebuah anugerah
yang luar biasa bagi manusia untuk memungkinkan mengenali Ia dengan lebih
dekat. Hubungan “hamba” dan “tuan” yang seharusnya dikerjakan oleh manusia
terhadap Tuhan kini menjadi sangat jelas melalui kehidupan Yesus Kristus.
Sekalipun Ia adalah “anak” tetapi menempatkan diri-Nya sebagai “hamba”.
Firman itu telah menjadi manusia,
dan tinggal di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah
dan kebenaran. (Yohanes 1:14).
Karena Allah begitu mengasihi
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
(Yohanes 3:16).
Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia mempersembahkan
doa dan permohonan dengan ratap tangis dan air mata kepada Ia, yang sanggup
menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.
Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah
diderita-Nya. (Ibrani 5:7-8).
Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Ia dan mengaruniakan kepada-Nya
nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang
ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala
lidah mengaku, "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah,
Bapa! (Filipi 2:8-11).
Dalam kitab
KejaIan, ketika Allah menciptakan alam semesta, bumi dan segala isinya, kita
mendapati adanya sebuah anthropomorphosis,
kata yang berasal dari antropo
“manusia” + (meta) morfosis
“perubahan bentuk”, Allah di transformasi
menjadi manusia. Antropomorfosis merupakan akibat langsung yang dihasilkan dari
gaya bahasa Anthropopatheia, dimana
perasaan, tindakan dan atribut kemanusiaan dikenakan pada Tuhan dalam penulisan
Kitab Suci.
Dalam bahasa
Ibrani disebut דֶרֶךְ בְנֵי אָדָם (Derech Benai Adam), the way of the sons of
man.
Berfirmanlah Allah: "Baiklah
Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya Ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (KejaIan
1:26-27).
Ayat Iatas menunjukkan bahwa atas dasar inisiatif Allah
sendiri Ia telah menjadikan diri-Nya sebagai gambaran manusia. Sehingga manusia
dapat mengerti Tuhan sebagaimana ia mengerti keberadaan dirinya. Tuhan yang
tidak terlihat itu menjadi dapat ditemui, dikenali dan Iajak berbicara,
sebaliknya Tuhan juga berbicara, berperasaan dan bertindak bagi kepentingan
manusia selayaknya Ia “seorang manusia”. Seolah Ia sedang bermain petak umpet
dengan manusia yang menyembunyikan diri akibat kejatuhannya dalam dosa (KejaIan
3:8-10). Ia bukanlah pribadi namun memiliki kepribaIan seperti yang dapat
ditemukan dalam diri manusia, itulah yang memampukan terciptanya sebuah
hubungan.
Problem terbesar yang terjadi dalam diri manusia ialah
karena ia tidak lagi dilahirkan segambar dengan sang Pencipta, tetapi segambar
dengan orang tuanya.
Setelah Adam hidup seratus tiga
puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya,
lalu memberi nama Set kepadanya. (KejaIan 5:3)
…..segala kecenderungan hatinya
selalu membuahkan kejahatan semata-mata (KejaIan 6:5).
Sesungguhnya, dalam kesalahan aku
diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:7)
Sebagaimana Adam yang jatuh kedalam dosa, demikian pula Kain
anaknya juga jatuh kedalam dosa pula. Kain sebagai anak sulung, ia merasa lebih
dari adiknya, tetapi kehormatannya dikalahkan oleh Habel karena persembahannya
tidak diindahkan oleh Allah. Hatinya menjadi panas, lalu ia membunuh adiknya
itu. Demikian dosa telah menjalar ke seluruh dunia oleh karena satu orang.
(Roma 5:12). Karena keinginan untuk menjadi “idol”, menjadikan dirinya seperti
Allah.
Tetapi ular itu berkata kepada
perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui,
bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang
yang baik dan yang jahat." Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu
baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati
karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan
diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan Ia, dan suaminya pun
memakannya. (KejaIan 3:4-6).
Kata “Allah” sudah
digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk kepada sang Maha
Pencipta. Jauh sebelumnya di Mesopotamia di mana rumpun Semitik bermula,
orang-orang sudah mengenal nama El atau Il sebagai nama dewa
tertinggi dalam pantheon Babilonia namun bagi sebagian besar keturunan Sem
(nama rumpun Semitik berasal) nama itu dimengerti sebagai Tuhan Yang Mahaesa
Pencipta Langit dan Bumi.
Abraham menyebut El atau Elohim sebagai Allah yang maha
perkasa dan berkuasa. Tetapi kemuIan Elohim hanya Iartikan sebagai Allah Maha
Kuasa – sebagai sang Pencipta, dan
sebutan Eloah ditujukan untuk Tuhan yang berkehendak dan memerintah, sebagai
obyek penyembahan umat-Nya. Sedangkan El kemuIan ditujukan untuk Allah yang
mahatahu.
“Dewa” atau “yang disembah” oleh manusia dalam bahasa Arab disebut ilah.
Beberapa teori mencoba menganalisa etimologi dari kata "Allah". Salah satunya mengatakan
bahwa kata Allāh berasal dari gabungan dari kata al – (sang) dan ʾilāh
(dewa) “(satu-satunya) yang disembah”.
Sementara dalam kepercayaan Hindu, kata “dewa” merupakan serapan dari bahasa
Sansekerta yang artinya “tuhan, roh baik”.
Kata “dewa” ini berasal dari “div”, yang artinya “bersinar” atau “sesuatu yang
bersinar” yang disetarakan dengan kata Yunani “dios” yang berarti “ilahi”
dan Zeus, juga kata Latin “deus” yang
artinya“tuhan” sementara dalam bahasa
Latin kunonya deivos.
Dari penjelasan Iatas, kita sekali lagi mendapatkan bentuk
relasional atau hubungan interaksi, jika sebutan “tuhan” merujuk pada hubungan
“yang melayani” dan “yang dilayani”, maka sebutan “allah” merujuk pada “yang
memuja” dan “yang dipuja”. Satu-satunya yang dipuja menjadi sesuatu yang disembah atau Iagungkan
pastilah menguasai dan menjadikan pemujanya sebagai pelayan. Kembali pada
pemahaman antropomorfosis, maka dalam
keterbatasannya manusia memberi nama, membuat patung, tugu berhala atau bentuk
tempat pemujaan lainnya dan ritual untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya
sebagai interaksi dan visualisasi pemujaan.
Sama seperti idola tidak pernah ada jika tidak ada pemujanya, maka Allah
hadir ketika ada penyembah-Nya. “Tuhan,
Allah ku” berarti “(penguasa tertinggi)
yang ku layani, (satu-satunya) yang ku
sembah/puja”. Dalam hal ini, yang dilayani atau dipuja tidak hanya sesuatu
berbentuk, seperti sebuah patung, pohon, atau yang sifatnya fisik, tetapi juga
hal-hal yang tidak berbentuk seperti hobby, ilmu, pengetahuan, konsep ataupun
doktrin. Segala sesuatu dapat menjadi tuhan dan allah (al+ilah) atas kehidupan
seseorang jika sesuatu itu menjadi penting, terutama, dipuja dan dilayani
keinginannya atau bahkan ditiru perbuatannya.
Antropomorfosis
menimbulkan pembatasan terhadap yang tidak terbatas karena menjadikan-Nya “seolah”
manusia. Menjadikan sesuatu yang supranatural menjadi natural, yang tidak
terlihat menjadi seolah terlihat, metafisik menjadi fisik. Tetapi tanpanya kita
sulit memahami keberadaan Tuhan – Allah.
Panggung itu begitu gemerlap, cahaya lampu silih berganti,
musik pengiring begitu harmonis dan suara sang penyanyi terdengar dalam ruang
itu. Sorak sorai dan tepuk tangan mengelu-elukan terdengar panjang dan sangat
keras. Semua juri mengacungkan kedua jempolnya, lalu lahirlah calon bintang
baru. Gambaran inilah yang seringkali ditampilkan di layar televisi dari
berbagai saluran dengan tajuk “idol”. Sang bintang menginginkan penggemarnya
semakin banyak, sehingga kontrak rekaman dan pentas mengalir deras, penghasilan
dan kehidupannya semakin gemerlap dirinya menjadi ternama – namanya bersinar
disanjung dan dipuja oleh banyak penggemarnya sebagai “Diva”. Diva – bintang
yang bersinar, “idol” pujaan penggemarnya dan “menjadi seperti Allah”.
Keinginan bernafsu sepanjang hari (Amsal
21:26), mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar (Pengkotbah
1:8).
Sebab semua yang ada di dalam
dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup,
bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yohanes 2:16).
Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, Allah telah memberi
mandat (berkat) untuk menaklukkan dan menguasai bumi (KejaIan 1:28). Setelah
pelanggaran, dikatakan oleh TUHAN Allah: ”… manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik
dan yang jahat…” (KejaIan 3:22). Pengetahuan itulah yang mendorong manusia
untuk terus menguasai bumi, tetapi melupakan ketaatan yang dikehendaki oleh
TUHAN Allah. Sehingga secara alamiah dorongan hati manusia senantiasa ingin
untuk menjadi tuhan allah dan tidak berusaha untuk mencari Allah (Roma 3:11).
Sebuah sisi terbalik dari antropomorfosis.