Sabtu, 30 Januari 2016

Antropomorfosis, sebuah pendekatan

Antropomorfosis, sebuah pendekatan
Dalam tulisan sebelumnya kita mendapatkan keberadaan Tuhan itu barulah terjadi ketika ada hubungan antara kita sebagai “hamba” dan Ia sebagai “tuan di atas segala tuan”. Keberadaan yang tak terlihat namun ada itu membuat-Nya sulit dipahami, dan terkadang menimbulkan pengertian berbeda satu sama lain Iantara orang-orang yang menjalin hubungan dengan-Nya. Secara manusiawi, hubungan yang terjalin antar sesama lebih dipahami dengan mudah oleh keterbatasan pemikiran manusia. Alkitab memberi sebuah kejelasan hubungan Allah terhadap manusia yang dapat diterima melalui kenyataan kasih – hubungan cinta yang diberikan-Nya lewat inkarnasi Firman yang mewujud. Kasih yang nyata antara sang Pencipta terhadap manusia ciptaan-Nya telah dinyatakan melalui pribadi Yesus Kristus, anak-Nya yang tunggal, yang taat dalam segala hal seperti selayaknya seorang anak terhadap bapanya. Itulah sebabnya tercatat dalam kitab Ibrani bahwa Yesus sebagai anak telah memberikan sebuah contoh ketaatan terhadap (hukum Taurat) Bapa-Nya. Inilah gambar sempurna yang mudah dimengerti pemikiran manusiawi kita sehubungan dengan keberadaan-Nya. Allah yang Roh, kini menjadi “seseorang” yang dapat dipahami secara manusia. Sungguh sebuah anugerah yang luar biasa bagi manusia untuk memungkinkan mengenali Ia dengan lebih dekat. Hubungan “hamba” dan “tuan” yang seharusnya dikerjakan oleh manusia terhadap Tuhan kini menjadi sangat jelas melalui kehidupan Yesus Kristus. Sekalipun Ia adalah “anak” tetapi menempatkan diri-Nya sebagai “hamba”.
Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran. (Yohanes 1:14).
Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16).
Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan air mata kepada Ia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya. (Ibrani 5:7-8).

Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Ia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Filipi 2:8-11).
Dalam kitab KejaIan, ketika Allah menciptakan alam semesta, bumi dan segala isinya, kita mendapati adanya sebuah anthropomorphosis, kata yang berasal dari antropo “manusia” + (meta) morfosis  “perubahan bentuk”, Allah di transformasi menjadi manusia. Antropomorfosis merupakan akibat langsung yang dihasilkan dari gaya bahasa Anthropopatheia, dimana perasaan, tindakan dan atribut kemanusiaan dikenakan pada Tuhan dalam penulisan Kitab Suci.
Dalam bahasa Ibrani disebut  דֶרֶךְ בְנֵי אָדָם (Derech Benai Adam), the way of the sons of man.
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya Ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (KejaIan 1:26-27).
Ayat Iatas menunjukkan bahwa atas dasar inisiatif Allah sendiri Ia telah menjadikan diri-Nya sebagai gambaran manusia. Sehingga manusia dapat mengerti Tuhan sebagaimana ia mengerti keberadaan dirinya. Tuhan yang tidak terlihat itu menjadi dapat ditemui, dikenali dan Iajak berbicara, sebaliknya Tuhan juga berbicara, berperasaan dan bertindak bagi kepentingan manusia selayaknya Ia “seorang manusia”. Seolah Ia sedang bermain petak umpet dengan manusia yang menyembunyikan diri akibat kejatuhannya dalam dosa (KejaIan 3:8-10). Ia bukanlah pribadi namun memiliki kepribaIan seperti yang dapat ditemukan dalam diri manusia, itulah yang memampukan terciptanya sebuah hubungan.
Problem terbesar yang terjadi dalam diri manusia ialah karena ia tidak lagi dilahirkan segambar dengan sang Pencipta, tetapi segambar dengan orang tuanya.
Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. (KejaIan 5:3)
…..segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (KejaIan 6:5).
Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:7)
Sebagaimana Adam yang jatuh kedalam dosa, demikian pula Kain anaknya juga jatuh kedalam dosa pula. Kain sebagai anak sulung, ia merasa lebih dari adiknya, tetapi kehormatannya dikalahkan oleh Habel karena persembahannya tidak diindahkan oleh Allah. Hatinya menjadi panas, lalu ia membunuh adiknya itu. Demikian dosa telah menjalar ke seluruh dunia oleh karena satu orang. (Roma 5:12). Karena keinginan untuk menjadi “idol”, menjadikan dirinya seperti Allah.
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat." Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan Ia, dan suaminya pun memakannya. (KejaIan 3:4-6).
Kata “Allah” sudah digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk kepada sang Maha Pencipta. Jauh sebelumnya di Mesopotamia di mana rumpun Semitik bermula, orang-orang sudah mengenal nama El atau Il sebagai nama dewa tertinggi dalam pantheon Babilonia namun bagi sebagian besar keturunan Sem (nama rumpun Semitik berasal) nama itu dimengerti sebagai Tuhan Yang Mahaesa Pencipta Langit dan Bumi.
Abraham menyebut El atau Elohim sebagai Allah yang maha perkasa dan berkuasa. Tetapi kemuIan Elohim hanya Iartikan sebagai Allah Maha Kuasa –  sebagai sang Pencipta, dan sebutan Eloah ditujukan untuk Tuhan yang berkehendak dan memerintah, sebagai obyek penyembahan umat-Nya. Sedangkan El kemuIan ditujukan untuk Allah yang mahatahu.
Dewa” atau “yang disembah” oleh manusia dalam bahasa Arab disebut ilah. Beberapa teori mencoba menganalisa etimologi dari kata "Allah". Salah satunya mengatakan bahwa kata Allāh berasal dari gabungan dari kata al – (sang) dan ʾilāh (dewa) “(satu-satunya) yang disembah”.
Sementara dalam kepercayaan Hindu, kata “dewa” merupakan serapan dari bahasa Sansekerta yang artinya “tuhan, roh baik”. Kata “dewa” ini berasal dari “div”, yang artinya “bersinar” atau “sesuatu yang bersinar” yang disetarakan dengan kata Yunani “dios” yang berarti “ilahi” dan Zeus, juga kata Latin “deus” yang artinya“tuhan” sementara dalam bahasa Latin kunonya deivos.
Dari penjelasan Iatas, kita sekali lagi mendapatkan bentuk relasional atau hubungan interaksi, jika sebutan “tuhan” merujuk pada hubungan “yang melayani” dan “yang dilayani”, maka sebutan “allah” merujuk pada “yang memuja” dan “yang dipuja”. Satu-satunya yang dipuja  menjadi sesuatu yang disembah atau Iagungkan pastilah menguasai dan menjadikan pemujanya sebagai pelayan. Kembali pada pemahaman antropomorfosis, maka dalam keterbatasannya manusia memberi nama, membuat patung, tugu berhala atau bentuk tempat pemujaan lainnya dan ritual untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya sebagai interaksi dan visualisasi pemujaan. Sama seperti idola tidak pernah ada jika tidak ada pemujanya, maka Allah hadir ketika ada penyembah-Nya. “Tuhan, Allah ku” berarti “(penguasa tertinggi) yang ku layani, (satu-satunya) yang ku sembah/puja”. Dalam hal ini, yang dilayani atau dipuja tidak hanya sesuatu berbentuk, seperti sebuah patung, pohon, atau yang sifatnya fisik, tetapi juga hal-hal yang tidak berbentuk seperti hobby, ilmu, pengetahuan, konsep ataupun doktrin. Segala sesuatu dapat menjadi tuhan dan allah (al+ilah) atas kehidupan seseorang jika sesuatu itu menjadi penting, terutama, dipuja dan dilayani keinginannya atau bahkan ditiru perbuatannya.
Antropomorfosis menimbulkan pembatasan terhadap yang tidak terbatas karena menjadikan-Nya “seolah” manusia. Menjadikan sesuatu yang supranatural menjadi natural, yang tidak terlihat menjadi seolah terlihat, metafisik menjadi fisik. Tetapi tanpanya kita sulit memahami keberadaan Tuhan – Allah.
Panggung itu begitu gemerlap, cahaya lampu silih berganti, musik pengiring begitu harmonis dan suara sang penyanyi terdengar dalam ruang itu. Sorak sorai dan tepuk tangan mengelu-elukan terdengar panjang dan sangat keras. Semua juri mengacungkan kedua jempolnya, lalu lahirlah calon bintang baru. Gambaran inilah yang seringkali ditampilkan di layar televisi dari berbagai saluran dengan tajuk “idol”. Sang bintang menginginkan penggemarnya semakin banyak, sehingga kontrak rekaman dan pentas mengalir deras, penghasilan dan kehidupannya semakin gemerlap dirinya menjadi ternama – namanya bersinar disanjung dan dipuja oleh banyak penggemarnya sebagai “Diva”. Diva – bintang yang bersinar, “idol” pujaan penggemarnya dan “menjadi seperti Allah”.
Keinginan bernafsu sepanjang hari (Amsal 21:26), mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar (Pengkotbah 1:8).
Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yohanes 2:16).
Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, Allah telah memberi mandat (berkat) untuk menaklukkan dan menguasai bumi (KejaIan 1:28). Setelah pelanggaran, dikatakan oleh TUHAN Allah: ”… manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat…” (KejaIan 3:22). Pengetahuan itulah yang mendorong manusia untuk terus menguasai bumi, tetapi melupakan ketaatan yang dikehendaki oleh TUHAN Allah. Sehingga secara alamiah dorongan hati manusia senantiasa ingin untuk menjadi tuhan allah dan tidak berusaha untuk mencari Allah (Roma 3:11). Sebuah sisi terbalik dari antropomorfosis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar