Jumat, 29 Januari 2016

Kajian tentang sebuah "Nama"

Kajian tentang sebuah “Nama”
“Untuk sebuah nama”, demikian sebuah lagu lama milik Pance Pondaag yang juga menjadi judul sebuah lagu lain yang diciptakan dan dibawakan oleh Ebiet G. Ade telah menjadi lagu-lagu yang poluler di tahun 1980-an. Orang mengatakan bahwa Nama sangatlah penting peranannya, ia adalah doa, ia adalah harapan orang tua, ia adalah panggilan sayang, bentuk cinta orang tua kepada anaknya juga pengikat cinta antar kekasih. Dari Nama, seseorang dikenal, sementara itu Shakespeare berkata “Apa arti sebuah nama?”. Dalam beberapa kasus budaya, Nama seseorang terkadang dikatakan sebagai sumber yang menjadikan penyandang Nama itu sakit-sakitan, sehingga harus dilakukan sebuah ritus tertentu untuk membuang “muatan” dari Nama tersebut bahkan jika diperlukan menggantikannya dengan yang baru.
Sedemikian pentingkah sebuah Nama? Atau sedemikian besarkah pengaruh (kuasa) nya atas seseorang?
Dalam Kisah Para Rasul 4:12, kita mendapatkan kalimat terkait dengan Nama. “Tidak ada keselamatan di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”. Demikian pula Paulus menyatakan adanya “nama di atas segala nama” supaya dalam Nama (itu) bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku “Nama (itu) adalah Tuhan”. Menunjuk pada sebuah Nama tertentu, bukan sembarang nama, sebuah nama khusus yang diberikan. (Filipi 2:10-11).
“Nama (itu) adalah Tuhan”, sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang “Nama (itu)”, terlebih dahulu kita menggali maksud dari kata “Tuhan”. “Tuhan” dalam pemikiran seseorang yang memakai logika fisik pernyataan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan “Apakah Tuhan itu?”, atau pertanyaan lainnya “Siapakah Tuhan itu?” bagi mereka yang berpikir secara logika psikologis. Orang-orang yang mendasari pemikirannya dengan hal-hal yang terlihat secara fisik berpikir bahwa Tuhan itu sebuah wujud material tertentu. Sementara pemikiran lain yang didasari kemanusiaannya yang mampu melakukan suatu karya penciptaan, pemeliharaan, penghukuman dan perbuatan-perbuatan lainnya menganggap Tuhan itu suatu pribadi (wujud psikologis). Apakah Tuhan itu berwujud (sebuah) material atau (sosok) mahluk yang berkepribadian? Benarkah keberadaannya demikian?
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran, penalaran/proses penalaran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Kata yang sama dipakai dalam Injil Yohanes “en  arxe  en  ho  logos,  kai  ho  logos  en  pros  ton  theon,  kai  theos  en  ho  logos”. Pada mulanya ada Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Yohanes 1:1.

“ Kang cokot keun itu” kata seorang Sunda (dengan bahasanya) kepada seorang Jawa sambil menunjuk sebuah batu, “Atos” jawab si orang Jawa kesal sambil melotot. Lalu berkelahilah mereka, mengapa? Karena “cokot keun” dalam bahasa Sunda berarti “ambilkan”, maksud si Sunda minta tolong untuk diambilkan batu tersebut. Sementara arti “cokot” dalam bahasa Jawa adalah “gigit”, seolah si Sunda minta supaya si Jawa “mengigit” batu tersebut. Jelas menjengkelkan si Jawa. Lalu si Jawa menjawab “Atos”, yang berarti “sudah” dalam pengertian bahasa Sunda, padahal batu nya belum diambil dan menjawabnya dengan melotot, tentu si Sunda juga tersinggung. “Ini dimintain tolong supaya mengambilkan batu koq berkata sudah padahal belum diambilkan, dan jawab pakai melotot segala”, lalu berkelahilah mereka. Salah pengertian karena bahasa (pemikiran) yang berbeda menghasilkan perkelahian. Karena itu sebelum menggali lebih dalam, kita perlu menyamakan konsep pemikiran agar tidak terjadi kesalah pahaman.
Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi. (Filipi 3:19).
Dalam ayat di atas, menurut rasul penulis bagian terbanyak Perjanjian Baru itu ternyata “Tuhan ialah perut”, sungguh mengejutkan atau bahkan menggelikan. Pernyataan sindiran Paulus terhadap mereka yang mencari keuntungan melalui pelayanan dalam jemaat di Filipi. Orang-orang yang melayani jemaat untuk memenuhi keuntungan bagi perut mereka, hidupnya dikendalikan dan dikuasai oleh kebutuhan perut mereka. Sebuah bentuk pelayanan yang dilakukan dengan mengandalkan kemampuan lahiriah dan kebenaran manusiawi yang ditujukan untuk kepentingan diri sendiri semata, bukan untuk kepentingan dan pertumbuhan karakter yang sesuai dengan ukuran Kristus.
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik.[17] Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.[18]
Ahli bahasa Remy Sylado menemukan bahwa perubahan kata "tuan" yang bersifat insani, menjadi "Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu karya Melchior Leijdecker yang terbit pada tahun 1733.[19][20] Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang diperuntukkan bagi Isa Almasih ini diterjemahkannya menjadi "tuan". Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai "Tuan"—sama dengan bahasa Portugis Senhor, Perancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere—melalui Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.[19]
Tuhan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dari pengertian diatas maka kita mendapati bahwa kata “Tuhan” itu sebuah bentuk relasional, sebutan untuk sebuah hubungan yang timbul antara dia yang dikuasai dan yang menguasainya, itulah sebabnya rasul Paulus menyatakan bahwa mereka yang dikuasai oleh perut sebagai orang-orang yang ber-tuhan-kan perut, “Tuhan mereka ialah perut mereka”.
Itulah sebabnya Yesus Kristus menyatakan:
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapan-Ku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!" (Matius 7:21-23)
Ayat diatas ditujukan untuk mereka yang tidak memiliki hubungan “tuan” dan “hamba”, mereka adalah para pelaku kejahatan. (Yakobus 3:16).
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. (Yohanes 13:13-15).
Dalam bahasa Jawa, kata “guru” merupakan hasil dari penyatuan “digu-gu lan diti-ru” yang berarti didengarkan (karena dipercayai) dan diteladani (hidupnya dihidupi).  Penulisan “Guru dan Tuhan” dalam ayat diatas merupakan bentuk penulisan dalam gaya bahasa Hendiadys.
Hen-dî´-a-dy̆s, from ἕν (hen), one, διὰ (dia), by, δίς (dis) two (from δύο, two). Lit., one by means of two. Two words employed, but only one thing, or idea, intended. One of the two words expresses the thing, and the other (of synonymous, or even different, signification, not a second thing or idea) intensifies it by being changed (if a noun) into an adjective of the superlative degree, which is, by this means, made especially emphatic.
Figures of speech – Appendix 6, The Companion Bible.
Ini berarti bahwa dalam penulisan ayat tersebut diatas, dalam dua kata yang terhubungkan dengan kata sambung “dan” tersebut merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Artinya jika kita menyebut Tuhan atas Yesus, maka seharusnya kita mendengarkan karena mempercayai-Nya, lalu meneladani kehidupan-Nya karena menjadikan-Nya sebagai sang Penguasa kehidupan kita. Dengan kata lain, jikalau kita menyebut Yesus sebagai Tuhan, maka kita berkewajiban untuk berbuat sama dengan apa yang telah IA perbuat kepada kita. Jika kita menyebut Yesus Kristus adalah Tuhan kita, maka kita harus “menggugu dan meniru” kehidupan-Nya, sebagai orang yang “mempercayai dan melakukan” hukum – logos – pemikiran/perkataan/firman Allah. Jadi tidak semua orang Kristen ber-tuhan-kan Yesus, sekalipun mereka memanggil Yesus Kristus Tuhan. Sebuah kehidupan yang terhubung secara terus menerus dalam konteks “yang dikuasai” dan “yang menguasai”, antara “hamba” dan “tuan”, sejalan dengan iman dan perbuatan. (Yakobus 2:14-24). Ini berarti jika kita hanya belajar, mengerti dan memahami Yesus Kristus (Matius 11:29, learn of Me), tanpa hidup dalam keteladanan-Nya, maka kematianlah yang ada dalam hidup kita, sama seperti ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang dikecam oleh Yesus Kristus dengan kata “Celakalah kamu”. (Matius 23:1-36).
Melalui perubahan penterjemahan kata “Tuan” menjadi “Tuhan” yang secara pengertian ilahi adalah “tuan diatas segala tuan” atau tuan yang paling berkuasa – Tuan, dengan huruf kapital yang dalam bahasa lisan yang dulunya tidak dapat dibedakan, kini dapat dibedakan dalam penyebutannya. 
Apa yang dilakukan Leijdecker, mengapa “Tuan” menjadi “Tuhan”, merupakan masalah khas bahasa Indonesia. Hadirnya huruf ‘h’ dalam beberapa kata bahasa Indonesia, seperti ‘asut’ menjadi ‘hasut’, ‘utang’ menjadi ‘hutang’, ’empas’ menjadi ‘hempas’, ‘silakan’ menjadi ‘silahkan’, agaknya seiring dengan kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa. Misalnya tertulis ‘hana’ dibaca ‘ono’, ‘hapa’ dibaca ‘opo’. Di samping itu gagasan Leijdecker mengeja Tuhan untuk mengiring lafaz palatal ‘n’ dengan tepat. Banyak orang yang baru belajar Melayu, bekas budak Portugis asal Goa, terpengaruh Portugis, melafaz ‘n’ menjadi ‘ng’. Juga di Ambon, di pusat tujuan bangsa-bangsa Barat untuk memperoleh rempah-rempah, Tuan dibaca Tuang. Bahkan setelah Leijdecker mengeja Tuhan pun, orang Ambon tetap membacanya Tuang, sampai sekarang. Maka, di Ambon Tuang Ala berarti Tuhan Allah. Selain itu orang Kristen Ambon menyebut Allah Bapa sebagai Tete Manis, harafiahnya berarti ‘kakek yang baik’.

Remy Sylado ahli bahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar