Kajian tentang sebuah
“Nama”
“Untuk sebuah nama”, demikian sebuah lagu lama milik Pance
Pondaag yang juga menjadi judul sebuah lagu lain yang diciptakan dan dibawakan
oleh Ebiet G. Ade telah menjadi lagu-lagu yang poluler di tahun 1980-an. Orang
mengatakan bahwa Nama sangatlah penting peranannya, ia adalah doa, ia adalah
harapan orang tua, ia adalah panggilan sayang, bentuk cinta orang tua kepada
anaknya juga pengikat cinta antar kekasih. Dari Nama, seseorang dikenal, sementara
itu Shakespeare berkata “Apa arti sebuah nama?”. Dalam beberapa kasus budaya,
Nama seseorang terkadang dikatakan sebagai sumber yang menjadikan penyandang
Nama itu sakit-sakitan, sehingga harus dilakukan sebuah ritus tertentu untuk
membuang “muatan” dari Nama tersebut bahkan jika diperlukan menggantikannya
dengan yang baru.
Sedemikian pentingkah sebuah Nama? Atau sedemikian besarkah
pengaruh (kuasa) nya atas seseorang?
Dalam Kisah Para Rasul 4:12, kita mendapatkan kalimat
terkait dengan Nama. “Tidak ada keselamatan di dalam siapa pun juga selain di
dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan
kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”. Demikian pula Paulus
menyatakan adanya “nama di atas segala nama” supaya dalam Nama (itu) bertekuk
lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah
bumi, dan segala lidah mengaku “Nama (itu) adalah Tuhan”. Menunjuk pada sebuah
Nama tertentu, bukan sembarang nama, sebuah nama khusus yang diberikan. (Filipi
2:10-11).
“Nama (itu) adalah Tuhan”, sebelum kita mengkaji lebih
lanjut tentang “Nama (itu)”, terlebih dahulu kita menggali maksud dari kata
“Tuhan”. “Tuhan” dalam pemikiran seseorang yang memakai logika fisik pernyataan
tersebut dapat menimbulkan pertanyaan “Apakah Tuhan itu?”, atau pertanyaan lainnya
“Siapakah Tuhan itu?” bagi mereka yang berpikir secara logika psikologis. Orang-orang
yang mendasari pemikirannya dengan hal-hal yang terlihat secara fisik berpikir
bahwa Tuhan itu sebuah wujud material tertentu. Sementara pemikiran lain yang
didasari kemanusiaannya yang mampu melakukan suatu karya penciptaan,
pemeliharaan, penghukuman dan perbuatan-perbuatan lainnya menganggap Tuhan itu suatu
pribadi (wujud psikologis). Apakah Tuhan itu berwujud (sebuah) material atau (sosok)
mahluk yang berkepribadian? Benarkah keberadaannya demikian?
Logika berasal dari kata Yunani kuno
λόγος (logos) yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran, penalaran/proses penalaran yang diutarakan
lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Kata
yang sama dipakai dalam Injil Yohanes “en arxe
en ho logos,
kai ho logos
en pros ton
theon, kai theos
en ho logos”. Pada mulanya ada Firman; Firman
itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Yohanes 1:1.
“ Kang cokot keun
itu” kata seorang Sunda (dengan bahasanya) kepada seorang Jawa sambil menunjuk
sebuah batu, “Atos” jawab si orang Jawa kesal sambil melotot. Lalu berkelahilah
mereka, mengapa? Karena “cokot keun” dalam bahasa Sunda berarti “ambilkan”,
maksud si Sunda minta tolong untuk diambilkan batu tersebut. Sementara arti
“cokot” dalam bahasa Jawa adalah “gigit”, seolah si Sunda minta supaya si Jawa
“mengigit” batu tersebut. Jelas menjengkelkan si Jawa. Lalu si Jawa menjawab
“Atos”, yang berarti “sudah” dalam pengertian bahasa Sunda, padahal batu
nya belum diambil dan menjawabnya dengan melotot, tentu si Sunda juga
tersinggung. “Ini dimintain tolong supaya mengambilkan batu koq berkata sudah
padahal belum diambilkan, dan jawab pakai melotot segala”, lalu berkelahilah
mereka. Salah pengertian karena bahasa (pemikiran) yang berbeda menghasilkan
perkelahian. Karena itu sebelum
menggali lebih dalam, kita perlu menyamakan konsep pemikiran agar tidak terjadi
kesalah pahaman.
Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka,
pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi. (Filipi 3:19).
Dalam ayat di atas, menurut rasul penulis bagian terbanyak
Perjanjian Baru itu ternyata “Tuhan ialah perut”, sungguh mengejutkan atau
bahkan menggelikan. Pernyataan sindiran Paulus terhadap mereka yang mencari
keuntungan melalui pelayanan dalam jemaat di Filipi. Orang-orang yang melayani
jemaat untuk memenuhi keuntungan bagi perut mereka, hidupnya dikendalikan dan
dikuasai oleh kebutuhan perut mereka. Sebuah bentuk pelayanan yang dilakukan
dengan mengandalkan kemampuan lahiriah dan kebenaran manusiawi yang ditujukan
untuk kepentingan diri sendiri semata, bukan untuk kepentingan dan pertumbuhan
karakter yang sesuai dengan ukuran Kristus.
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari
kata tuan. Buku pertama yang
memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi
Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti
kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti
atasan/penguasa/pemilik.[17] Kata "tuan"
ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai,
memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang
memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati.
Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain
mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan
rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.[18]
Ahli bahasa Remy Sylado menemukan bahwa
perubahan kata "tuan" yang bersifat insani, menjadi "Tuhan"
yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Melayu karya Melchior
Leijdecker yang terbit pada tahun
1733.[19][20] Dalam terjemahan
sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan
Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios,
dan sebutan yang diperuntukkan bagi Isa Almasih ini diterjemahkannya
menjadi "tuan". Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai
"Tuan"—sama dengan bahasa Portugis Senhor, Perancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere—melalui
Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab
bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang
awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani
dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema
khas dalam bahasa Indonesia.[19]
Tuhan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dari pengertian diatas maka kita mendapati bahwa kata
“Tuhan” itu sebuah bentuk relasional, sebutan untuk sebuah hubungan yang timbul
antara dia yang dikuasai dan yang menguasainya, itulah sebabnya rasul Paulus
menyatakan bahwa mereka yang dikuasai oleh perut sebagai orang-orang yang
ber-tuhan-kan perut, “Tuhan mereka ialah
perut mereka”.
Itulah sebabnya Yesus Kristus menyatakan:
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan orang yang melakukan
kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir
setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada
waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak
pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapan-Ku, kamu sekalian yang melakukan
kejahatan!" (Matius 7:21-23)
Ayat diatas
ditujukan untuk mereka yang tidak memiliki hubungan “tuan” dan “hamba”, mereka
adalah para pelaku kejahatan. (Yakobus 3:16).
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat,
sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku, Tuhan dan
Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku
telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama
seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. (Yohanes 13:13-15).
Dalam bahasa Jawa, kata “guru”
merupakan hasil dari penyatuan “digu-gu
lan diti-ru” yang berarti didengarkan
(karena dipercayai) dan diteladani (hidupnya dihidupi). Penulisan “Guru dan Tuhan” dalam ayat diatas
merupakan bentuk penulisan dalam gaya bahasa Hendiadys.
Hen-dî´-a-dy̆s,
from ἕν (hen), one, διὰ (dia), by, δίς (dis) two (from δύο, two). Lit., one by
means of two. Two words employed, but only one thing, or idea, intended. One of
the two words expresses the thing, and the other (of synonymous, or even
different, signification, not a second thing or idea) intensifies it by being
changed (if a noun) into an adjective of the superlative degree, which is, by
this means, made especially emphatic.
Figures of speech – Appendix 6, The Companion Bible.
Ini berarti bahwa dalam penulisan ayat tersebut diatas, dalam
dua kata yang terhubungkan dengan kata sambung “dan” tersebut merupakan sebuah
kesatuan yang utuh. Artinya jika kita menyebut Tuhan atas Yesus, maka
seharusnya kita mendengarkan karena mempercayai-Nya, lalu meneladani kehidupan-Nya
karena menjadikan-Nya sebagai sang Penguasa kehidupan kita. Dengan kata lain,
jikalau kita menyebut Yesus sebagai Tuhan, maka kita berkewajiban untuk berbuat
sama dengan apa yang telah IA perbuat kepada kita. Jika kita menyebut Yesus
Kristus adalah Tuhan kita, maka kita harus “menggugu dan meniru” kehidupan-Nya,
sebagai orang yang “mempercayai dan melakukan” hukum – logos –
pemikiran/perkataan/firman Allah. Jadi tidak semua orang Kristen ber-tuhan-kan
Yesus, sekalipun mereka memanggil Yesus Kristus Tuhan. Sebuah kehidupan yang
terhubung secara terus menerus dalam konteks “yang dikuasai” dan “yang
menguasai”, antara “hamba” dan “tuan”, sejalan dengan iman dan perbuatan.
(Yakobus 2:14-24). Ini berarti jika kita hanya belajar, mengerti dan memahami
Yesus Kristus (Matius 11:29, learn of Me),
tanpa hidup dalam keteladanan-Nya, maka kematianlah yang ada dalam hidup kita,
sama seperti ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang dikecam oleh Yesus
Kristus dengan kata “Celakalah kamu”. (Matius 23:1-36).
Melalui perubahan penterjemahan kata “Tuan” menjadi “Tuhan”
yang secara pengertian ilahi adalah “tuan
diatas segala tuan” atau tuan yang paling berkuasa – Tuan, dengan huruf
kapital yang dalam bahasa lisan yang dulunya tidak dapat dibedakan, kini dapat
dibedakan dalam penyebutannya.
Apa yang
dilakukan Leijdecker, mengapa “Tuan” menjadi “Tuhan”,
merupakan masalah khas bahasa Indonesia. Hadirnya huruf ‘h’ dalam beberapa kata
bahasa Indonesia, seperti ‘asut’ menjadi ‘hasut’, ‘utang’ menjadi ‘hutang’,
’empas’ menjadi ‘hempas’, ‘silakan’ menjadi ‘silahkan’, agaknya seiring dengan
kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa.
Misalnya tertulis ‘hana’ dibaca ‘ono’, ‘hapa’ dibaca ‘opo’. Di samping itu
gagasan Leijdecker mengeja Tuhan untuk mengiring lafaz palatal ‘n’ dengan
tepat. Banyak orang yang baru belajar Melayu, bekas budak Portugis asal Goa,
terpengaruh Portugis, melafaz ‘n’ menjadi ‘ng’. Juga di Ambon, di pusat tujuan
bangsa-bangsa Barat untuk memperoleh rempah-rempah, Tuan dibaca Tuang. Bahkan
setelah Leijdecker mengeja Tuhan pun, orang Ambon tetap membacanya Tuang,
sampai sekarang. Maka, di Ambon Tuang Ala berarti Tuhan Allah. Selain itu orang
Kristen Ambon menyebut Allah Bapa sebagai Tete Manis, harafiahnya berarti
‘kakek yang baik’.
Remy Sylado ahli bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar