Selasa, 28 September 2010

Ayat-ayat Cinta-04

Aku jatuh cinta

Si gadis jatuh hati pada gembala muda yang lemah lembut dan anggun penampilannya ini. Setiap saat mereka bertemu menjalin kedekatan di bawah pohon apel itu, mengikat janji cinta sejati satu sama lain. Mereka berjanji setia untuk saling mencintai dan terus mencintai sampai mereka bersatu dalam pernikahan.
Pertemuan biasanya berlanjut dengan perkenalan, perkenalan kemudian menjadi pertemanan. Pertemanan bertumbuh menjadi persahabatan, persahabatan berkembang menjadi pertunangan. Pertu­nangan membuahkan pernikahan.
Sebagai mahluk sosial yang hidupnya berdampingan dengan sesamanya, adalah wajar bila kita sebagai manusia senantiasa mengalami perjumpaan satu sama lain. Melalui perjumpaan yang tak terencana sebelumnya, kemudian oleh anugerah Tuhan kita menemukan calon pasangan hidup. Rasa tertarik mendorong rasa simpati. Perasaan ini sebenarnya timbul karena kebutuhan diri sehubungan dengan berbagai macam latar belakang. Kebutuhan untuk mendapat pertolongan itulah yang mendorong Adam (manusia) untuk mencari pasangan yang sepadan dengan dia.
Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. (Kejadian 2:20)
Inilah yang menjadi dasar dari setiap terjalinnya hubungan perkawinan-pernikahan. Dan justru karena dorongan kebutuhan diri, maka kebanyakan orang mencari pasangan untuk memenuhi kebutuhan atau menutupi kekurangannya.
Ketika panas terik dunia ini melanda, kehidupan menjadi terasa kering. Kondisi ekonomi, bencana alam, kejahatan dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah melanda dan menekan seluruh umat manusia. Jiwa manusia menjadi letih lesu, tertekan, gelisah, ketakutan bahkan putus asa. Apa yang akan terjadi dimasa depan telah merupakan ketakutan terbesar dalam kehidupan ini. Tempat perteduhan yang sempurna kita butuhkan agar kekeringan, kehausan dan kematian tidak terus menimpa. Pohon apel – pengetahuan akan kebenaran sejati kita butuhkan agar kita terluput dari kematian kekal. Ketika kita mencari tempat perteduhan yang sejati dengan kesadaran akan adanya kematian kekal oleh karena panasnya dunia ini, maka kita bertemu dengan “bocah angon” – sang pemuda gembala yang lemah lembut dan anggun penampilannya.
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Matius 11:28-29)
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10:11)
Orang yang kaya ingin lebih kaya lagi, orang yang berhasil tidak puas dengan keberhasilannya. Segala sesuatunya telah menjadi pendorong untuk lebih lagi dan lebih lagi. Sehingga hal ini menjadi te­kanan baru dalam kehidupan. Ketika kita melihat segala sesuatu yang berasal dan ada dalam dunia ini tidak dapat memuaskan, bahkan cenderung mendorong agar kita semakin mengejarnya – sekalipun hal ini tidak dapat menjamin masa depan yang sesungguhnya.
Mereka makan dan menjadi sangat kenyang; Ia (Allah) memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan. Mereka belum merasa puas, sedang makanan masih ada di mulut mereka (Maz­mur 78:29-30)
Solaiman atau Salomo adalah raja Israel yang paling besar sepanjang sejarah umat manusia telah menuliskan pemikiran hikmatnya dalam banyak ayat dalam kitab Amsal dan Pengkotbah. Sebagai raja, ia telah memiliki segalanya, harta, tahta dan wanita, semuanya dekat dengan dia. Tetapi dalam pergumulan bathinnya ia berkata “segalanya sia-sia”
Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. (Pengkot­bah 1:2).
Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkotbah 8:13-14)
Kitab Pengkotbah diakhiri dengan kesimpulan sang raja tentang apa yang paling penting dan wajib dikerjakan oleh semua orang. Salomo dengan segala kemegahannya menyadari bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah ary (yare’), rasa takut yang timbul karena menghargai dan menghormati Tuhan.
Takut akan Allah mendatangkan hidup, maka orang bermalam dengan puas, tanpa ditimpa malapetaka. (Amsal 19:23)
Tetapi tentu saja rasa takut akan Allah ini baru hadir dalam kehidupan, ketika kita menyadari dan menerima kenyataan bahwa Allah itu ada. Sebab ketika kesadaran akan keberadaan Allah ini ada dalam diri, maka segala aspek keberadaan Allah itu kita akui. Pengakuan atas kehadiran-NYA yang maha hadir, maha kuasa, maha kasih dan maha segala-galanya termasuk apa saja yang telah, sedang dan akan  diperbuat-NYA. Pengakuan akan apa yang telah diperbuat-NYA menjadikan kita bersyukur atas anugerah kasih-NYA, pengakuan akan apa yang sedang dikerjakan-NYA menjadikan kita berusaha untuk ikut serta mengerjakan dan melayani-NYA, pengakuan akan apa yang akan dikerjakan-NYA membuat kita berharap dan mencari perkenan-NYA.
Salomo menjelaskan bahwa ketenangan jiwa hanya akan terpenuhi ketika keberadaan kita dekat dengan Tuhan. Kalimat “bermalam dengan puas” menunjuk kepada suatu waktu dimana mata kita tertu­tup oleh kegelapan. Secara hurufiah memang ini menunjuk kepada malam hari, dimana para pencuri dan kejahatan malam beraksi. Tetapi ini juga menunjuk kepada saat dimana kita menutup mata – tidur dalam arti kematian jasmani. Oleh karena rasa takut akan datangnya pencuri dimalam hari, maka rumah dibuat berpintu, berpagar bahkan penjaga disiapkan. Rasa takut akan “menutup mata” telah mendorong manu­sia berusaha untuk menyenangkan Tuhan. Tetapi apakah usaha untuk menyenangkan Tuhan yang dikerjakan oleh manusia ini benar dimata Tuhan, atau justru hanya menghasilkan kepuasan diri karena seolah-olah diri­nya telah menyenangkan Tuhan. Bagaimana mungkin manusia dapat mendekati Tuhan dan menyenang­kannya? Keadaan berdosa telah membatasi bahkan menjadi benteng yang memisahkan manusia de­ngan Tuhan. Yang maha suci terlalu suci untuk didekati dosa atau manusia berdosa.
Tuhan maha pengasih dan penyayang, oleh karena manusia tidak mungkin dapat mendekat kepada-NYA maka IA yang mendekat kepada manusia.
Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. (Yohanes 1:9-10)
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16)

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. IA pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh DIA dan tanpa DIA tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam DIA ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasai-NYA. Fir­man itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-NYA, yaitu ke­muliaan yang diberikan kepada-NYA sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Inilah kesaksian Yohanes akan Yesus Kristus, sang Firman yang menjadi manusia. Yesus Kristus-lah sang gembala agung seluruh umat manusia. Ada jaminan hidup didalam-NYA, bukan hanya untuk kehidupan yang sekarang saja tetapi juga untuk kehidupan dimasa yang akan datang. DIA telah datang ke dunia sehingga memungkinkan kita untuk menerima dan mendekat kepada-NYA. DIA-lah jalan masuk untuk mendekat kepada Allah, DIA-lah pintu yang memungkinkan kita keluar dari tekanan dunia.
  Panas terik dunia telah dan terus menimpa kita; ketakutan dan kegelisahan akan “malam hari” yang segera tiba membuat jiwa kita menjadi letih lesu. Kini oleh anugerah kasih-NYA yang besar, DIA telah memberi­kan Yesus Kristus – Pribadi-NYA sendiri bagi kita sebagai jalan keluar sekaligus pintu masuk kerajaan-NYA. Seharusnya kita menerima dan menyambut kasih-NYA yang besar itu dengan memberi­kan kasih kita hanya kepada-NYA.
Saulus dalam pergulatan hidupnya untuk mendapatkan perkenan Tuhan, telah berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan hukum yang diajarkan nenek moyang Israel, ia menjadi murid Gamaliel dan sangat giat bekerja bagi Allah menurut pengertian ajaran Farisi. Menganggap ajaran “kebenaran” nenek moyangnya sebagai sesuatu yang perlu dibela. Ia telah menganiaya, menangkap juga memasukkan je­maat pengikut jalan Tuhan kedalam penjara. Iapun setuju untuk membunuh demi tegaknya ajaran nenek moyangnya. Panas terik dunia begitu kuatnya sehingga ia berusaha mendapat tempat berteduh dibawah pohon Kedar. Ia sadar akan api penghukuman yang akan datang, sehingga usaha yang dilakukannya begitu kuat. Kesadaran untuk mencari perkenan Tuhan itulah yang membawanya bertemu dengan Yesus Kristus – lebih tepatnya Yesus Kristuslah yang menemuinya – sehingga kehidupannya menjadi berubah, ia jatuh cinta kepada-NYA. Kebenaran yang sejati akhirnya menjumpai dan berbicara kepadanya. Pengenalan­nya akan Yesus membuatnya menyadari betapa besar kasih yang diberikan kepadanya. Kasih karunia yang besar dari Bapa surgawi itu telah membuatnya sangat mengasihi Tuhan. Kebersamaannya dengan Ye­sus telah membuatnya kuat dalam menghadapi “panas terik” yang menerpa dirinya. Si gadis itu akhirnya bertemu dengan “bocah angon” sang pemuda gembala itu, dan jatuh cinta kepadanya. Ia kemu­dian mengikat janji setia dengannya.
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau pengani­ayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:35-39)
Pengenalan akan besarnya kasih yang diberikan oleh pasangan menentukan besarnya balasan kasih. Artinya sama seperti hukum jual beli, harga yang diberikan haruslah sesuai dengan barangnya. Kalau ada orang yang berpihak kepada kita, sewajarnyalah kita berpihak kepada orang itu. Atau bila ada orang yang mati-matian membela kita, sepantasnyalah jika kita juga mau membela mati-matian terhadap orang yang demikian. Kasih seharusnya tidak bertepuk sebelah tangan. Tanggapan kasih dari Sau­lus tidaklah berlebihan sebab pada ayat-ayat sebelumnya ia menjelaskan kasih Tu­han yang telah ia terima.
Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenar­kan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita? (Roma 31-34)

Jika kita menerima cinta-NYA, kita dapat mencintai-NYA
Sudahkah Anda jatuh cinta kepada Yesus Kristus?

bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar